Kepentingan Utama GLOBALISASI
Anup Shah
Perdagangan global mungkin akan menjadi dambaan
sebagian besar orang seandainya saja ia bisa memberikan kesempatan kepada semua
bangsa untuk makmur, membangun secara adil dan saling menguntungkan.
Neoliberalisme digembar-gemborkan sebagai mekanisme untuk mencapainya. Margaret
Thatcher membuat singkatan TINA¾There Is No Alternative
(tak
ada alternatif lain). Tapi, apakah yang dimaksud dengan neoliberalisme itu?
Liberalisme Politik versus Liberalisme
Ekonomi
Perlu dicatat, bahwa terdapat perbedaan
penting antara politik liberal dengan ekonomi liberal. Kekaburan tersebut tak
pernah diklarifikasi oleh media massa mainstream!
Politik liberal berbicara tentang
kepedulian terhadap isu-isu sosial dan upaya untuk memberikan saran-saran yang
progresif dan fleksibel dalam menanganinya, cara yang bertentangan dengan yang dilakukan
oleh unsur konservatif, atau sayap kanan.
Namun, liberalisme dalam terminilogi
ilmu ekonomi berbicara tentang kepedulian terhadap liberalisasi kapital. Politisi
konservatif bisa sangat mendukung ekonomi liberal; sebaliknya terhadap politik
liberal.
Sebagaimana yang disimpulkan oleh
Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia:
“’Liberalisme’ mengacu pada ide-ide politik,
ekonomi, bahkan agama. Di AS, liberalisasi politik telah menjadi strategi untuk
menghindari konflik sosial. Yakni dengan menyuguhkan (liberalisme) pada si
miskin dan kaum pekerja sebagai hal yang progresif ketimbang kaum konservatif
atau Kaum Kanan. Liberalisme ekonomi berbeda lagi. Politisi-politisi
konservatif, yang mengatakan bahwa mereka membenci kata “liberal”¾dalam arti tipe politik¾tak memiliki keberatan apa pun dengan
liberalisme ekonomi, temasuk neo-liberalisme.”
Sekilas tentang Sejarah Neoliberalisme
Sistem modern perdagangan bebas,
perusahaan bebas dan ekonomi yang berbasiskan-pasar, sebenarnya telah muncul sejak
200 tahun yang lalu, sebagai satu mesin penggerak utama dalam pembangunan Revolusi
Industri. Namun, akarnya adalah merkantilisme yang terbentuk selama Abad
Pertengahan dan Zaman Kegelapan Eropa, beberapa ratus tahun sebelumnya! Dan
juga memiliki akar serta pararel dengan berbagai metode yang digunakan imperium
sepanjang sejarahnya (dan, saat ini, masih digunakan) untuk menguasai tempat-tempat
yang lebih lemah di sekitarnya serta untuk merampas kekayaannya. Sebenarnya, bisa
saja diyakini bahwa neoliberalisme (sekarang ini) tak lain merupakan
merkantilisme yang didandani oleh retorika yang lebih bersahabat, mengingat
relitasnya tetap sama dengan proses merkantilis yang telah berlangsung selama
ratusan tahun yang lalu.[3]
Pada tahun 1776, ekonom Inggris, Adam
Smith, menerbitkan bukunya, The Wealth of Nations. Adam Smith, yang dianggap
beberapa orang sebagai bapak kapitalisme pasar bebas (modern) dan bisa menulis
buku yang sangat berpengaruh, menganjurkan bahwa untuk mencapai efesiensi
maksimum, semua bentuk campur tangan pemerintah dalam masalah ekonomi sebaiknya
ditanggalkan, dan seharusnya tak ada pembatasan atau tarif dalam manufaktur serta
perdagangan satu bangsa agar bangsa tersebut bisa berkembang.
Itu lah yang membentuk landasan bagi
kapitalis untuk bebas berusaha (memiliki perusahaan bebas) dan, hingga Krisis Berat
(Great Depression) pada tahun 1930-an, pemikiran tersebut dijadikan
teori ekonomi utama yang berlaku di Amerika Serikat dan Inggris. Perlu dicatat,
bahwa agar kedua bangsa tersebut sukses mempertahankan pemikiran tersebut,
mereka membutuhkan alasan dan penyokong yang kuat, yakni imperialisme,
kolonialisme, dan penundukan bangsa lain, (yang mereka lakukan) agar mereka memiliki
akses kepada sumber daya yang bisa memproduksi kemakmuran yang sangat tinggi.
Namun, dalam waktu yang tak begitu lama,
hingga sebelum Perang Dunia II, telah kelihatan tanda-tanda melebarnya kesenjangan
antara yang kaya dan yang miskin.
Karena Krisis Berat pada tahun 1930-an
tersebut, seorang ekonom, John Maynard Keynes, menganjurkan bahwa regulasi dan
campur tangan pemerintah sebenarnya dibutuhkan untuk memberikan keadilan yang
lebih besar dalam pembangunan. Anjuran tersebut merupakan landasan bagi model
pembangunan Keynesian dan, setelah Perang Dunia II, dijadikan landasan model
pembangunan untuk membangun kembali sistem ekonomi internasional. Marshall Plan
Eropa membantu menata kembali ekonomi Eropa, dan bangsa-bangsa Eropa bisa memperoleh
manfaatnya, yakni sanggup menyediakan berbagai pelayanan sosial¾seperti untuk
program-program kesehatan, pendidikan dan sebagainya¾dan Roosevelt (dengan
New Deal nya) tentu saja sangat paham akan dampak-dampak positif nya.
Sebenarnya, lembaga-lembaga yang
didirikan pada pertemuan di Bretton Woods¾seperti Dana Moneter Internasional (International Monetary Funds/IMF)
dan Bank Dunia (Wolrd Bank/WB)¾dirancang dengan
berpijak pada kebijakan pemikiran Keynesian; sebagai cara untuk membantu
menyediakan regulasi internasional dan pengawasan terhadap kapital. Sebagimana
yang dikatakan Susan George: “… ketika lembaga-lembaga tersebut didirikan
di Bretton Woods pada tahun 1944, mandatnya adalah mencegah konflik di masa
depan dengan memberi pinjaman bagi rekonstruksi dan pembangunan, serta untuk
(sementara waktu) mengatasi masalah-masalah dalam neraca pembayaran. Mereka tak
memiliki mandat untuk mengontrol orang-orang pemerintahan yang membuat
keputusan-keputusan ekonomi, termasuk tak memberikan izin untuk campur tangan
dalam kebijakan nasional.” Sangat lah berbeda dengan apa yang berlangsung
saat ini!
Pada tahun 1945 hingga tahun 1950, jika
anda bersikukuh menawarkan berbagai gagasan dan kebijakan dengan standar
perangkat neoliberal (seperti saat ini), anda akan ditertawai (diolok-olok)
atau dikirim ke rumah sakit jiwa. Pada saat itu, paling tidak di negeri Barat, setiap
orang adalah Keynesian, sosial demokrat, sosial-Kristen demokrat, atau
dipengaruhi ide-ide Marxis. Gagasan bahwa pasar sebaiknya diizinkan membuat
keputusan ekonomi dan politik yang penting; bahwa negara seharusnya secara
sukarela mengurangi perannya dalam ekonomi; atau perusahaan-perusahaan
sebaiknya diberikan kebebasan total; serikat buruh sebaiknya dikekang; dan
warga negara dikurangi jaminan sosialnya—ide-ide semacam itu sama sekali asing
dengan semangat pada saat itu. Bahkan, bila pun seseorang sebenarnya setuju
dengan gagasan-gagasan tersebut, ia akan ragu mengambil posisi nya di hadapan
publik karena akan kesulitan untuk mencari pendegar.[4]
Namun, karena para elit dan perusahaan-perusahaan
menganggap bahwa dampak pemikiran yang berupaya menyetarakan masyarakat
tersebut (Keynesian) mengurangi keuntungan mereka, maka ekonomi liberal pun dihidupkan
kembali, dan muncul lah terminologi baru¾“neoliberalisme”. Yang ujudnya tak memiliki batas-batas nasional, atau
diterapkan terhadap ekonomi internasional. Berawal dari Universitas Chichago¾dengan
filsuf-ekonom nya, Friederich von Hayek dan muridnya, Milton Friedman¾ideologi
neoliberalisme disebar ke seluruh dunia dengan sangat baiknya.
Namun, bahkan sebelumnya, sudah terlihat
tanda-tanda bahwa tatanan ekonomi dunia akan menempuh cara tersebut: sebagian
besar perang (di sepanjang sejarah) pada intinya bertujuan menguasai ekonomi,
perdagangan, dan sumber daya. Keinginan memiliki akses terhadap sumber daya
murah menyebabkan kekuasaan imperium mengesahkan aksi militer, tentu saja
dengan kedok “kepentingan nasional”, “keamanan nasional”, “campur tangan
“kemanusiaan” dan sebagainya. Sesungguhnya, sebagaimana diungkapkan J.W Smith, pola-pola
(yang serupa dengan) merkantilisme telah terlihat sepanjang sejarah:
“Kemakmuran negara-kota kuno (seperti Venesia
dan Genoa) landasannya adalah kekuatan angkatan laut mereka, dan pakta/perjanjian
dengan kekuatan besar lainnya untuk menguasai perdagangan. Hal itu diperluas juga
pada bangsa-bangsa lain agar bisa merancang kebijakan perdagangan mereka demi mengeruk
kekayaannya (merkantilisme). Adakalanya satu negeri yang kuat akan menindas negeri
lainnya (agar bisa merampas kekayaannya) dengan
diawali perang dagang, perang terselubung, atau perang fisik; namun, negeri yang lebih lemah, yang terbelakang, biasanya akan kalah dalam perang tersebut. Karena
kekuatan militer nya, negeri-negeri yang lebih maju mampu mendiktekan aturan-aturan
dagang dan mempertahankan hubungan yang tidak adil/setara.”[5]
Karena ekonomi Eropa dan Amerika bisa
berkembang, mereka kemudian membutuhkan perluasan yang lebih besar guna
mempertahankan standar hidup yang tinggi (bagi segelintir orang). Dengan
demikian mereka harus meluaskan teritori kolonialnya agar bisa memperoleh akses
yang lebih besar pada bahan mentah dan sumberdaya lainnya, termasuk buruh murah
yang bisa dieksploitasi. Negeri yang melawan sering menghadapi penindasan yang
brutal atau campur tangan militer.
Karena perdagangan harus mengabaikan
batas-batas nasional, dan manufaktur membutuhkan pasar dunia, maka bendera
bangsa harus diseragamkan, dan pintu bangsa (yang tertutup bagi negeri-negeri
maju) harus didobrak. Konsesi-konsesi yang diperoleh oleh pemodal harus diselamatkan
oleh kementerian negara bahkan, dalam proses tersebut, kedaulatan negeri-negeri
lain akan diobrak-abrik. Koloni harus diperoleh atau didirikan, tak ada sudut
dunia yang luput atau tak terpakai[6]
Pernyataan Ricahards Robinson, Profesor
Antropologi dan pengarang Global Problems and the Culture of Capitalism,
juga layak dikutip lebih panjang:
“Depresi Berat Dunia pada tahun 1873,
yang sebenarnya tetap berlangsung hingga pada tahun 1859, merupakan
manisfestasi besar (pertama) krisis bisnis kapitalis. Depresi itu sebenarnya bukan
lah krisis ekonomi yang pertama (karena beberapa kali, ribuan tahun sebelumnya,
juga pernah terjadi), tapi kehancuran keuangan pada tahun 1873 mengungkapkan derajat
integrasi ekonomi global¾bagaimana
kejadian ekonomi di salah satu bagian dunia akan mempengaruhi negeri lainnya…”
Depresi pada tahun 1873 membuktikan
adanya problem besar lainnya yang menghambat upaya kapitalis untuk memperluas
diri dan meningkatkan pertumbuhannya secara terus menerus; pertumbuhan yang
hanya bisa dilanjutkan sepanjang bisa disediakan bahan-bahan mentah dan ada
peningkatan permintaan terhadap barang-barang nya, yang sejalan dengan cara-cara
(kebutuhan) untuk menginvestasikan keuntungan dan kapital. Dalam situasi tersebut,
jika pada tahun 1873 anda adalah seorang investor Amerika atau Eropa, ke mana anda
akan melakukan ekspansi ekonomi?
Jawabannya jelas: Eropa dan Amerika akan
melakukan ekspansi kekuasaannya menyeberangi lautan, khususnya ke daerah-daerah
yang relatif masih belum tersentuh kapitalis—Afrika, Asia, dan Pasifik.
Kolonialisme, faktanya, menjadi jalan keluar yang direstui demi memenuhi
kebutuhan untuk meluaskan pasar, meningkatkan kesempatan bagi para investor,
dan menjamin pasokan bahan mentah. Cecil Rhodes, salah seorang tokoh besar
kolonisasi Afrika dari Inggris, mengakui pentingnya ekspansi ke luar negeri
justru untuk mempertahankan perdamaian di dalam negeri. Pada tahun 1895 Rhodes
berkata:
“Kemarin aku berada di Ujung Timur
London, menghadiri sebuah pertemuan para pengangguran. Aku mendegar pidato yang
liar yang, ringkasannya, hanya lah teriakan: “roti”,”roti”. Dalam perjalanan
pulang ke rumah, aku merenungkan kejadian tersebut, dan aku menjadi lebih yakin
ketimbang sebelumnya akan pentingya imperialisme... Ide cemerlang ku itu merupakan
jalan keluar bagi masalah sosial¾yakni untuk menyelamatkan 40 juta penduduk Kerajaan Inggris dari
perang saudara berdarah¾karenanya, kami,
negarawan kolonial, membutuhkan tanah baru untuk menempatkan kelebihan penduduk,
untuk menyediakan pasar baru bagi barang-barang yang kami produksi di pabrik-pabrik
dan pertambangan kami. Imperium, sebagaimana yang sering aku katakan, merupakan
persoalan roti dan mentega. Jika anda ingin menghindari perang saudara, maka anda
harus menjadi imperialis.
Hasil dari hasrat untuk melakukan
ekspansi imperialis: rakyat seluruh dunia diubah menjadi produsen hasil panenan
(untuk diekspor)¾sebagaimana
jutaan petani subsisten dipaksa menjadi buruh upahan yang memproduksi barang-barang
yang dibutuhkan pasar¾dan mengharapkan
para pedagang serta para industrialis Eropa, Amerika membelinya, ketimbang
memasoknya untuk diri sendiri, atau demi memenuhi kebutuhan pokoknya.”[7]
Esensinya, Perang Dunia I adalah perang untuk
memperebutkan sumber daya, atau pertempuran antar pusat-pusat imperium demi menguasai
dunia. Perang Dunia II adalah pertempuran lain semacamnya. Boleh jadi, menurut
mereka, perang-perang semacam itu bukan cara yang baik dan, karenanya, harus
mencari cara yang lebih kooperatif.
Tapi, kerjasama tersebut bukanlah
terutama untuk semua kepentingan dunia, atau hanya demi kepentingan sendirinya.
Upaya keras Soviet untuk mengambil cara pembangunan yang independen¾yang memiliki cacat
karena karakter sentralistik nya, dan perspektif paranoid serta totaliter nya¾merupakan
ancaman bagi pusat-pusat kapital tersebut karena akan menyebabkan koloni mereka
“mengambil gagasan yang salah”, dan juga mencoba jalan independen bagi
pembangunan mereka.
Karena Perang Dunia II menyebabkan negeri-negeri
imperialis semakin melemah, banyak negeri koloni mulai me-merdeka-kan diri. Di
beberapa tempat terdapat negeri-negeri yang memiliki potensi untuk mengusung
proses demokratik dan, bahkan, bisa memberikan contoh kepada negeri-negeri
tetangganya untuk mengikutinya. Proses demokratik tersebut jelas akan mengurangi
akses terhadap sumber daya murah, dan hal itu akan mengancam pengaruh,
kekuasaan, dan kontrol perusahaan-perusahaan multinasional serta negeri-negeri
imperium nya (mantan-mantan imperialis). Sering, kemudian, mereka memberikan
sanksi berupa aksi militer. Untuk mencari dukungan di dalam negeri, mereka
menyebarkanluaskan, menggembar-gemborkan, ketakutan akan komunisme, seandainya
pun harus berbohong.
…Untuk memberikan alasan bagi
(intervensi atau aksi militer lainnya) anda harus berbohong sedemikian rupa
agar tercipta kesan (yang salah) bahwa Uni Soviet lah yang sedang kalian perangi…[8]
Tujuannya akhir nya adalah memastikan
semuanya ada di jalur yang memudahkan suatu bentuk globalisasi yang bisa memuaskan
perusahaan besar dan kelas elit kekuatan-kekuatan (mantan) imperialis. (Jadi, tidak
lah mengherankan bila Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang, sebagaimana juga
bangsa Eropa lainnya bisa begitu makmur, sedangkan negeri-negeri bekas koloni
masih tetap miskin; boom ekonomi
bangsa maju diongkosi oleh sebagian besar penduduk dunia). Sebagai
hasilnya, globalisasi akan ditopang oleh kekuatan militer (hingga sekarang
masih demikian) untuk memastikan dan mempertahankan keuntungannya.
Jadi, walaupun sepertinya konialisme dan
imperialisme berakhir bersamaan dengan usainya Perang Dunia II, namun upaya
mati-matian untuk mengembangkan anjuran Adam Smith¾perdagangan
bebas dan pasar bebas¾dan
kebijakan-kebijakan merkantilis masih tetap berlangsung. (Sesungguhnya, dengan
membaca tulisan Adam Smith, The Wealth of Nation, akan terungkap bahwa kenyataan
sekarang ini sangat menyimpang jauh dari doktrin kapitalisme pasar bebas; atau
masih tetap bisa dianggap sebagai kapitalisme monopoli; atau seolah zaman merkantilisme
telah mencapai kematangannya. Kita akan membicarakannya kemudian). Dan, dengan
demikian, sistim kepercayaannya pun harus selaras dengan tujuan politiknya:
“Saat ketidakadilan imperialisme (merkantilis)
sudah sedemikian mencolok dan begitu memalukan nya, maka dipasok lah sistim
kepercayaan bahwa merkantilisme sudah ditanggalkan, kini perdagangan bebas lah yang
menggantikannya. Dalam kenyataan nya, perampasan kekayaan masih dilakukan, ditutup
rapat-rapat oleh sistem monopoli yang kompleks, dan perdagangan yang tak adil/setara
disembunyikan di balik tabir pasar bebas. Berbagai alasan diberikan bila ada
perang antar bangsa-bangsa imperium yang sedang memperebutkan tujuan yang sama:
‘Siapa yang akan menguasai sumber daya, perdagangan, dan kemakmuran, yang dihasilkan
melalui ketidakadilan dalam perdagangan?’ Semua itu dibuktikan oleh adanya ketimpangan
dalam perdagangan, yang mengalirkan kekayaan dunia ke pusat-pusat kapital
imperium yang ada saat ini, tak beda dengan perampasan tersembunyi (melalui
perdagangan) yang mereka lakukan berabad-abad yang lalu. Pertempuran
memperebutkan kekayaan dunia hanya lah sedang disembunyikan di balik berbagai
sistim kepercayaan, apalagi bila rahasia kebohongan nya (perampasan kekayaan
negeri-negeri lain) terbongkar.”[9]
Khususnya pada era Reagan dan Thatcher,
neoliberalisme didesakkan ke sebagian besar belahan dunia, menghancurkan apa
saja yang berkaitan dengan kepentingan publik, dan menswastakan apa saja yang
dimiliki oleh publik, menggunakan campur tangan militer jika dibutuhkan. Kebijakan
Penyesuaian Struktural digunakan untuk membuka ekonomi negeri-negeri miskin
sehingga bisnis-bisnis besar dari negeri-negeri maju bisa memiliki dan
mengakses berbagai sumber daya dengan murah. Jadi, dimulai dari sekte kecil dan
tak populer yang, sebenarnya, tak memiliki pengaruh, neoliberalisme kemudian menjadi
agama utama dunia dengan doktrin-doktrin dogmatik nya, dengan para pendeta nya,
dengan lembaga-lembaga yang menghasilkan hukum-hukum nya dan, yang mungkin paling
penting dari semuanya, neraka nya, bagi mereka yang murtad dan para pendosa yang
menentang kebenarannya. Oskar Lafontaine, mantan Menteri Keuangan Jerman, yang
oleh Financial Times dijuluki sebagai
“Keynesian tak tergoyahkan”, baru saja dikirim ke neraka tersebut karena
ia berani mengajukan pajak perusahaan yang lebih tinggi dan memangkas pajak
orang-orang biasa dan keluarga yang kurang mampu.
Tahun 1979, tahun Margaret Thatcher menduduki
jabatannya dan menerapkan revolusi neo-liberal di Inggris. Wanita Besi ini mendidik
dirinya sebagai murid Friederich von Hayek, ia seorang sosial Darwinis dan tak
memiliki rasa cemas dalam mengungkapkan keyakinan-keyakinan nya. Dia begitu
terkenal karena mengabsyahkan program nya dengan sebutan satu kata, TINA,
singkatan dari There is No Alternative. Nilai pokok doktrin Thatcher dan
neo-liberalisme itu sendiri adalah gagasan persaingan—persaingan antar bangsa, antar
wilayah, antar perusahaan, dan tentu saja antar individu. Kompetisi menjadi
sentral nya karena ia bisa memisahkan domba dari kambing, orang dewasa dari anak-anak,
yang layak dari yang tak layak. Hal itu dimaksudkan untuk mengalokasikan (dengan
kemungkinan efesiensi yang paling besar) seluruh sumber daya, apakah sumber
daya fisik, sumber daya alam, sumber daya manusia, atau sumber daya keuangan.
Berbeda tajam dengan filsuf besar China
Lao Tzu, yang menuntaskan filsafat Tao-te Ching nya dengan kata-kata: ”Di atas
segalanya, jangan bersaing”. Satu-satunya aktor dalam dunia neo-liberal yang nampaknya
paling percaya pada anjuran nya adalah aktor paling besar¾perusahaan-perusahaan
Transnasional. Prinsip kompetisi jarang diterapkan di antara sesama mereka; mereka
lebih senang mempraktekkan apa yang kita sebut dengan Aliansi Kapitalis.[10]
Karena Perang Dingin telah “berakhir”, tak
mengherankan bila globalisasi bentuknya seperti yang kita lihat sekarang ini—arah
yang tak akan dituju “oleh perjalanan” Perang Dingin. Perang Dunia berkaitan
dengan upaya melebarkan jalan-rimbun perdagangan dan yang menguntungkannya.
Sepanjang Perang Dingin kita mengisi dunia
dengan ancaman terhadap demokrasi pasar: sekarang sebaiknya kita mengupayakan
perluasan pencapaian nya.[11]
Saat ini kebijakan neoliberal dipahami
secara negatif dan positif. Perusahaan yang diberikan kebebasan telah menghasilkan
banyak inovasi produk. Pertumbuhan dan pembangunan (bagi segelintir orang)
telah melimpah ruah. Namun, bagi sebagian besar orang, malah meningkatkan kemiskinan
nya, dan inovasi serta pertumbuhan nya tidak lah dirancang untuk memenuhi
kebutuhan sebagian besar rakyat dunia.
Tak seorang pun bisa memisahkan ilmu ekonomi,
ilmu politik, dan sejarah. Politik lah yang mengontrol ekonomi. Sejarah, bila
akurat dan sepenuhnya didokumentasikan, bisa menceritakannya. Dalam sebagian
besar buku-buku teks dan pengajaran, tak hanya ketiga bidang studi itu saja
yang dipisah-pisah tapi, lebih jauh lagi, masing-masing nya juga
dikotak-kotakan menjadi sub bidang studi sehingga mengaburkan kaitan-kaitan
(ketat) nya.[12]
Jadi, Neoliberalisme adalah…
Neoliberalisme, bila dikatakan secara
retorik, esensi nya adalah bagaimana mengusahakan agar perdagangan antar bangsa
menjadi lebih mudah. Maksudnya, mengusahakan agar barang-barang, sumber daya
dan perusahaan-perusahaan lebih bebas bergerak, dalam upaya untuk mendapatkan
sumber daya yang lebih murah, untuk memaksimalkan keuntungan dan efisiensi.
Agar tujuan tersebut bisa dipenuhi maka
berbagai kontrol harus disingkirkan. Atau satu-satu nya jalan untuk memaksimalkan
itu semua adalah dengan menanggalkan berbagai kontrol; menghapuskan hal-hal yang dianggap membatasi perdagangan
bebas, seperti :
·
Tarif.
·
Peraturan-peraturan.
·
Standar-standar tertentu, legislasi, dan ukuran-ukuran yang
diregulasi.
·
Pembatasan-pembatasan terhadap aliran kapital dan investasi.
Tujuan nya agar mampu
melepaskan pasar bebas mencari keseimbangan nya sendiri secara alamiah melalui
tekanan permintaan-permintaan pasar, kunci bagi keberhasilan ekonomi yang
berbasiskan-pasar.
Bila artikel What is
"Neo-Liberalism"? A Brief Definition for Activists,
yang ditulis Elizabeth Martinez dan Arnoldo Gracia, dari Corporate Watch,
diringkas, maka poin-poin utama neoliberalisme mencakup:
·
Hukum pasar—kebebasan bagi kapital, barang dan jasa, sehingga
pasar bisa mengatur dirinya sendiri agar gagasan “tetesan ke bawah” dapat
mendistribusikan kekayaan. Juga mencakup upaya agar tenaga kerja tak diwakili
oleh serikat buruh, dan menyingkirkan semua hambatan yang menghalangi mobilitas
kapital, seperti peraturan-peraturan. Kebebasan tersebut harus diberikan oleh
negara atau pemerintah.
·
Mengurangi pembelanjaan publik bagi pelayanan-pelayanan
sosial, seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan yang disediakan oleh
pemerintah.
·
Deregulasi, agar kekuatan pasar bisa bekerja menurut mekanisme
aturannya sendiri.
·
Swastanisasi perusahaan-perusahaan milik publik (seperti
perusahaan yang mengelola kebutuhan air, bahkan perusahaan internet).
·
Mengubah persepsi baik tentang publik dan komunitas menjadi
individualisme dan tanggung jawab individual.
Sama hal nya juga dengan Richard
Robinson, dalam bukunya Global Problems and the Culture of Capitalism
(Allyn Bacon, 1999), yang meringkas (pada halaman 100) prinsip-prinsip utama di
balik ideologi neoliberalisme ini:
·
Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sebagai cara untuk memajukan
manusia.
·
Pasar bebas tanpa “campur tangan” pemerintah adalah yang
paling ampuh dan secara sosial bisa mengoptimalkan alokasi sumber daya.
·
Globalisasi ekonomi akan menguntungkan semua orang.
·
Swastanisasi akan menghilangkan pemborosan dalam sektor publik.
·
Fungsi utama pemerintah seharusnya adalah menyediakan
infrastruktur untuk memajukan kepatuhan akan hukum, yang berkaitan denga hak-hak
pemilikan dan kontrak.
Selanjutnya, pada tataran internasional,
bisa kita mengerti tambahan-tambahan nya, yakni diterjemahkan dalam bentuk:
·
Kemerdekaan dalam perdagangan barang dan jasa.
·
Sirkulasi kapital yang lebih bebas.
·
Kemampuan bergerak (investasi) harus lebih dibebaskan.
Asumsi yang digarisbawahi selanjutnya
adalah bahwa pasar bebas merupakan sesuatu yang baik. Bisa saja demikian tapi,
sayangnya, jika kita bedakan antara realitas dengan retorika, apakah benar pasar itu sedemikian
bebas nya, dan tak dipengaruhi oleh yang berkuasa, atau dimanipulasi demi
kepentingan mereka. Walau bagi beberapa ekonom ideologi dianggap, bahkan,
seperti teologi—dalam pengertian bahwa cara perkembangan nya alamiah—tapi realitas
juga merupakan faktor yang bisa menjelaskan permainan kekuasaan yang
mempengaruhi “kebebasan” dalam perdagangan bebas. Dilihat dari perspektif
kekuasaan, pasar “bebas” dalam kenyataan nya¾sebagaimana yang dipahami banyak orang di seluruh dunia¾merupakan
kelanjutan kebijakan lama¾yakni perampasan¾apakah itu
disengaja atau tidak. Tapi kita tak pernah mendengar ada diskusi semacam itu
dalam media mainstream.
Pierre Bordieu
Memimpikan
Penghisapan yang tak Henti-hentinya
Inti-sari Neoliberalisme
Apa kah
neoliberalisme itu? Suatu program untuk menghancurkan struktur kolektif¾yang bisa
menghambat logika pasar murni.
Dalam wacana yang dominan, dunia ekonomi dianggap
sebagai tatanan yang murni dan sempurna; wacana yang bersikukuh mengaku bisa membeberkan
logika konsekuensi-konsekuensinya (karena bisa diprediksi); wacana yang dengan
segera menindak semua pelanggaran dengan sanksi yang keras, baik secara otomatis
atau¾lebih tak lazim¾melalui perantaraan penggunaaan
kekuatan bersenjata, menggunakan Dana Moneter Internasional (International
Monetary Fund/IMF), menggunakan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Organization
for Economic Cooperation and Development/OECD), dan menggunakan kebijakan-kebijakan
yang mereka paksakan: mengurangi biaya tenaga kerja (upah buruh), mengurangi pembelanjaan
publik, dan mengupayakan agar kerja menjadi lebih fleksibel. Apakah wacana yang
dominan tersebut benar? Bagaimana jika, dalam kenyataannya, tatanan ekonomi tersebut
tak lebih dari sekadar upaya untuk mewujudkan utopia¾utopia neoliberalisme¾yang kemudian berubah menjadi suatu problem
politik? Sesuatu yang, dengan bantuan teori ekonomi yang diproklamirkannya,
sukses mengkhayalkan dirinya seolah-olah sebagai suatu penjelasan ilmiah
tentang kenyataan?
Teori yang menggurui itu sepenuhnya merupakan fiksi
matematis. Sejak awal sudah bisa dimengerti bahwa teori nya berlandaskan abstraksi
yang sangat padat. Karena mengatasnamakan konsepsi rasionalitas yang dangkal
dan ketat¾yakni rasionalitas
individual¾maka teori tersebut mengabaikan
orientasi-orientasi rasional kondisi-kondisi sosial dan ekonomi, dan mengabaikan
stuktur-struktur ekonomi serta sosial yang menjadi syarat bagi penerapannya.
Untuk menakar kelalaian tersebut, cukuplah dengan
berpikir tentang sistem pendidikan. Pendidikan tak pernah diperlakukan dengan
selayaknya, walaupun ia memainkan peran yang menentukan dalam produksi
barang dan jasa, bahkan juga dalam memproduksi produsen nya itu sendiri. Dosa
asal ini¾sebagaimana yang tertulis
dalam mitos Walrasian tentang “teori murni”¾merupakan sumber seluruh cacat
dan pelanggaran terhadap disiplin ilmu ekonomi. Selain itu, yang merupakan
basis kesalahan fatalnya adalah: bahwa logika ekonomi yang selayaknya, katanya,
harus didasarkan pada kompetisi dan efesiensi; yang bertentangan dengan logika
sosial (yang merupakan subyek untuk menegakkan keadilan). Walaupun pemahaman
terhadap pertentangan tersebut, tentu saja, serampangan tapi, (semata-mata)
eksistensinya lah yang memaksanya mengikatkan diri pada kesalahan tersebut.
Memang, “teori” tersebut tak memiliki watak sosial
dan historis sejak dari akarnya. Tapi, saat ini, lebih dari sebelumnya, mereka
mengaku memiliki cara/peralatan untuk membenarkan dirinya dan, katanya, secara
empiris, bisa diuji. Akibatnya, wacana neoliberal bukan lah satu-satu nya wacana
di antara sekian banyak yang lainnya. Ia lebih layak disebut sebagai “wacana
yang kuat”¾seperti wacana psikatri di
satu rumah sakit jiwa, sebagaimana dalam analisis Erving Goffman.
Wacana tersebut begitu kuat dan sangat sulit diserang (hanya) karena di
pihaknya ia memiliki seluruh kekuatan dari dunia relasi kekuatan¾suatu dunia yang andil nya memang memberikan
kekuatan pada wacana tersebut. Yakni (terutama) dengan mengarahkan
pilihan-pilihan ekonomi dari mereka yang mendominasi relasi ekonomi. Karenanya,
wacana tersebut kemudian bisa menambahkan kekuatan simbolik nya (sendiri) ke dalam
relasi kekuatan tersebut. Atas nama program ilmiah tersebut, yang diubah
menjadi perencanaan tindakan politik, suatu proyek politik besar sedang dijalankan¾meskipun status demikian itu disangkal nya karena
terlihat sangat negatif. Proyek tersebut bertujuan menciptakan kondisi-kondisi agar
“teori” tersebut bisa mewujudkan dan memfungsikan:sebuah program untuk
menghancurkan (secara metodelogis) struktur kolektif.
Gerakan untuk meraih utopia neoliberal¾yakni pasar yang murni dan sempurna¾bisa diwujudkan melalui politik deregulasi
finansial. Dan hal itu bisa dicapai melalui tindakan yang bisa
mentransformasikan dan (ini harus diungkapkan) yang bisa menghancurkan semua ukuran-ukuran
politik¾yang terbaru adalah
Perjanjian Investasi Multilateral [Multilateral Agreement on Investment (MAI), yang
dirancang untuk melindungi perusahaan-perusahaan asing dan investasinya dari gangguan
negara setempat/nasional]. Tujuannya adalah agar bisa mempertanyakan setiap
dan semua struktur kolektif yang dapat menghalangi logika pasar murni: bangsa, yang ruang geraknya harus
terus-menerus dikurangi; kelompok kerja, melalui cara (sebagai contoh) individualisasi
gaji dan jenjang karir, yang harus dianggap sebagai fungsi untuk menakar kompetensi
individual sehingga, konsekuensinya, memecah belah (atomisasi) buruh; kolektif yang
membela hak-hak buruh, serikat-serikat buruh, perhimpunan-perhimpunan,
koperasi-koperasi, bahkan keluarga, akan dihilangkan kontrolnya atas konsumsi
karena pasar dibentuk berdasarkan kelompok umur.
Program neoliberal mendapatkan kekuatan sosialnya melalui
kekuatan politik dan ekonomi dari mereka yang kepentingannya diuntungkan: para
pemegang saham, para operator keuangan, para industrialis, para politisi
konservatif atau sosial-demokratik (yang telah diubah menjadi penjamin dikukuhkannya
pasar bebas), pejabat-pejabat keuangan tingkat-tinggi (yang sangat bernafsu/serampangan
mendesakkan kebijakan-kebijakan yang, sebenarnya, merupakan anjuran untuk
membunuh dirinya sendiri karena mereka, tak seperti manajer perusahaan, tak
memiliki resiko untuk membayar konsekuensinya di kemudian hari). Neoliberalisme,
secara keseluruhan, cenderung dengan liciknya memisahkan ekonomi dari realitas
sosial dan, dengan demikian, dalam kenyataannya, sedang membangun sebuah sistem
ekonomi yang bisa disesuaikan dengan gambaran teori murni¾semacam mesin logika yang menampilkan dirinya
sebagai belenggu pembatas yang mengatur agen-agen ekonomi.
Globalisasi pasar-pasar keuangan, apalagi saat
digabungkan dengan kemajuan teknologi informasi, bisa menjamin mobilitas
kapital lebih dari yang sebelumnya. Sehingga investor¾yang khawatir terhadap keuntungan jangka
pendek investasi mereka¾bisa diberikan kemungkinan
(secara permenen) untuk membandingkan keuntungan investasinya dengan keuntungan
investasi perusahaan-perusahaan besar. Konsekuensinya, informasi tersebut menjadi
tekanan/ancaman bagi perusahaan-perusahaan yang keuntungannya mengalami
kemunduran relatif. Dihadapkan pada ancaman permanen itu, perusahaan-perusahaan
tersebut harus menyesuaikan dirinya lebih, lebih, cepat lagi terhadap perubahan
pasar yang tak terduga; juga terhadap ancaman “kehilangan kepercayaan pasar”;
juga sama hal nya, seperti yang mereka katakan, ancaman kehilangan dukungan
dari para pemegang saham mereka. Para pemegang saham¾yang cemas hanya bisa meraih keuntungan jangka
pendek¾menjadi lebih dan lebih
mungkin untuk memaksakan kehendak mereka kepada para manajer: dengan menggunakan
badan-badan keuangan, mereka menciptakan aturan main bagaimana seharusnya
manajer bekerja, dan membuatkan kebijakan (bagi para manajer) tentang penerimaan
tenaga kerja, kesempatan kerja, dan upah.
Dengan demikian, kekuasaan absolut (fleksibilitas)nya
bisa terbentuk. Fleksibilitas untuk memperkerjakan buruh dengan basis kontrakan
(atau hanya dalam jangka waktu tertentu saja; atau sesuai dengan
restrukturisasi perusahaan, yang sedemikian sering); dan fleksibilitas untuk menerapkan
watak kompetisi di dalam perusahaan itu sendiri, antar-divisi yang otonom, sebagaimana
juga antar-kelompok kerja, agar buruh bisa dipaksa menjalankan fungsi-fungsi ganda.
Akhirnya, kompetisi tersebut meluas hingga antar-individu sendiri, melalui
individualisasi hubungan upah: menetapkan capaian-capaian hasil kerja
individual, evaluasi (permanen) hasil kerja individual, kenaikan gajih secara
individual, atau pemberian bonus yang berfungsi untuk menakar nilai kompetensi
dan jasa individual; jenjang karir yang diindividualisasi; strategi “pelimpahan
tanggung jawab” yang bertujuan menjamin eksploitasi-diri sang bawahan (staff)¾yang, di satu sisi, sekadar buruh upahan
biasa (bila dikaitkan dengan ketergantungannya terhadap hirarki yang di
atasnya) tapi, di sisi lain, mereka memiliki tanggung jawab terhadap
penjualannya, produksinya, kantor-kantor cabangnya, dan sebagai nya seolah-olah
mereka adalah kontraktor independen. Tekanan untuk “mengontrol diri sendiri” tersebut
memperluas “keterlibatan” buruh berdasarkan teknik “manajemen partisipatif”,
yang jauh melampaui kemampuan manajemennya. Semua itu merupakan teknik dominasi
(rasional) yang memaksa buruh terlibat-berlebihan dalam kerja (tak sekadar
dalam manajemen), dan memaksa buruh bekerja seperti di bawah kondisi darurat
atau tekanan-tinggi. Dan semua nya itu ditumpuk-tumpuk bebannya sehingga
melemahkan bahkan meniadakan nilai-nilai kolektif atau solidaritas.
Dengan cara seperti itu, nampaknya dunia Darwinian sedang
diterapkan dalam kehidupan kita¾yakni pertempuran sesama
makhluk di semua tingkat hirarki, sehingga sulit mencari dukungan karena semua
orang berusaha mempertahankan pekerjaan dan organisasi nya di bawah kondisi yang
mengancam, menderita, dan tertekan. Tak diragukan lagi, upaya (praktis) untuk
mengkukuhkan dunia yang penuh dengan perjuangan tidak lah akan berhasil (sepenuhnya)
tanpa kerumitan, terutama dalam mengatur keadaan genting¾yang menciptakan perasaan tak aman bagi keberadaan
cadangan tenaga kerja (yang masih menganggur), yang dijinakkan oleh
proses sosial yang justru membuat situasi mereka menjadi genting, tak bedanya
dengan ancaman pengangguran yang membayanginya secara permanen. Cadangan tenaga
kerja (pengangguran) tersebut ada di
semua tingkat hirarki, bahkan di tingkatan yang lebih tinggi, terutama di kalangan
para manajer. Pondasi utama seluruh tatanan ekonomi yang ditempatkan di bawah
simbol kebebasan ini sebenarnya memberikan dampak kekerasan struktural¾pengangguran, tak amannya posisi dalam
pekerjaan, dan ancaman pemecatan sementara. Kondisi “harmoni” untuk menjalankan
model ekonomi-mikro individualis tersebut memunculkan fenomena massal¾bala tentara pengangguran.
Kekerasan struktural tersebut juga dibebankan pada
apa yang mereka sebut buruh kontrakan (yang dirasionalisasi dengan bijaksana
dan diubah menjadi tidak nyata berdasarkan “teori kontrak”). Wacana organisasi
tak pernah dibicarakan sebanyak pembicaraan tentang kepercayaan, kerjasama,
kesetiaan, dan budaya organisasi, sebagaimana layaknya pada era ketika sokongan
terhadap organisasi bisa diperoleh setiap saat dengan menyingkirkan semua
jaminan sementara dalam penyediaan lapangan pekerjaan [padahal tiga perempatnya
dari lapangan kerja yang tersedia diberikan untuk masa kerja yang sudah
ditentukan, proporsi pekerja musiman terus meningkat, pekerjaan “sesuka hati”
(pekerjaan apa saja) dan hak memecat individu cenderung dibebaskan, tak diberi
batasan apapun].
Jadi, kita bisa melihat bagaimana utopia neoliberal berusaha
mewujudkan dirinya dalam kenyataan dengan menjadi semacam iblis yang bengis,
yang memiliki kebutuhan untuk memaksakan dirinya bahkan kepada penguasa.
Seperti Marxisme pada masa-masa awal nya yang, dalam hal ini, memiliki banyak
kesamaan, yakni utopianya membangkitkan kepercayaan yang sangat kuat¾iman perdagangan bebas¾tak hanya di antara mereka yang hidup dari nya,
seperti pemodal, pemilik dan manajer perusahaan-perusahaan besar, dan
sebagainya, tapi juga di antara mereka yang mendapatkan justifikasi untuk
bertahan dalam sistem tersebut, seperti pejabat pemerintah dan politisi tingkat
tinggi. Agar mereka bisa mensucikan kekuasaan pasar (atas nama efisiensi
ekonomi), maka hambatan administratif atau politis harus dihapuskan karena bisa
mengganggu pemilik kapital (dalam upaya individualnya) memaksimalkan keuntungan
individual¾yang telah diubah sehingga
memiliki model rasionalitas nya. Mereka menghendaki bank sentral yang
independen. Dan mereka mengkhotbahkan ketundukan negara-bangsa pada
syarat-syarat kebebasan ekonomi demi
para penguasa/pemilik ekonomi, dengan menyingkirkan segala peraturan terhadap
pasar apa pun¾dimulai dari pasar tenaga
kerja, larangan terhadap defisit dan inflasi, swastanisasi besar-besaran dalam pelayanan
publik, dan pengurangan pembelanjaan publik serta sosial.
Para ekonom mungkin tak perlu ikut berbagi kepentingan
ekonomi dan sosial dengan para penganut setianya, dan mungkin memiliki pendapat
bathin yang beragam mengenai dampak ekonomi dan sosial akibat utopia neoliberal
ini¾yang mereka selubungi dengan alasan
matematis. Namun, mereka cukup memiliki kepentingan khusus dalam bidang ilmu
ekonomi¾yakni harus memberikan
sumbangan berarti bagi produksi dan reproduksi kepercayaan pada utopia
neoliberal ini. Karena menolak kenyataan dunia ekonomi dan sosial¾tentu saja karena keberadaan mereka dan, di
atas segalanya nya, karena formasi intelektual mereka (yang lebih sering sangat
abstrak, terpaku pada buku, dan teoritis)¾maka mereka, terutama,
cenderung mengacaukan antara perangkat-perangkat logika dengan logika
perangkat-perangkat.
Para ekonom tersebut mempercayai model yang hampir tak
pernah sempat mereka uji dengan pembuktian eksperimental, dan cenderung
memandang rendah hasil ilmu-ilmu historis lainnya¾yang, tak pernah mengakui
kemurnian dan kerjernihan permainan matematis mereka, yang kebutuhan sejati dan
kerumitannya (yang sangat berat) tak sanggup mereka mengerti. Mereka terlibat
dan bekerjasama dalam perubahan ekonomi-sosial yang dahsyat. Bahkan seandainya
pun beberapa konsekuensinya menakutkan mereka (mereka bisa bergabung dalam
partai sosialis dan memberikan masukan pengetahuan bagi
perwakilan-perwakilannya di struktur kekuasaan), namun mereka tak menggusarkannya.
Mereka tak gusar menyerahkan kesimpulan tentang realitas kepada utopia
ultra-logika (ultra-logika seperti dalam beberapa bentuk penyakit gila), tempat
mereka mengabdikan hidupnya. Mereka tak gusar karena, katanya, resiko
kegagalannya kecil, dan kegagalan tersebut akan mereka persalahkan pada apa
yang mereka sebut “gagasan spekulatif”.
Namun dunia masih tetap ada, yang menanggung beban-dampak
(yang segera terlihat) dari penerapan mimpi besar neoliberal: tak hanya
kemiskinan segmen masyarakat ekonomi maju, yang semakin meluas saja;
kesenjangan pendapatan yang tumbuh pesat; penyingkiran (terus menerus) produk
bidang-bidang budaya yang otonom, seperti film, penerbitan, dan sebagainya,
melalui pemaksaan nilai-nilai komersial yang mengganggu. Selain itu juga, yang lebih
penting dari semuanya, munculnya dua kecenderungan. Pertama, kecenderungan
untuk menghancurkan semua lembaga kolektif yang mampu melawan dampak dari mesin
iblis tersebut, terutama lembaga negara¾gudang/wadah bagi semua
nilai universal yang berkaitan dengan ide dunia publik. Kedua, kecenderungan
pemaksaan (di mana-mana) dalam dunia ekonomi (yang lebih tinggi) dan negara (yang
dianggap sebagai jantung dari perusahaan-perusahaan). Kecenderungan kedua
tersebut semacam Darwinisme moral, yakni: dengan pemujaan pada pemenang¾yang dididik oleh matematika tingkat tinggi
dan bungee jumping¾dilembagakanlah pertempuran sesama
makhluk dan sinisme, sebagai norma setiap tindakan dan perilaku.
Bisakah diharapkan bahwa penderitaan massal yang
luar biasa, yang dihasilkan oleh rejim politik-ekonomi semacam itu, suatu hari
nanti akan menjadi titik tolak suatu gerakan yang mampu menghentikan perlombaan
menuju jurang kehancuran ini? Sungguh, dalam hal ini kita berhadapan dengan
paradoks yang luar biasa. Hambatan-hambatan bermunculan dalam upaya
merealisasikan tatanan baru bagi individu-individu (kesepian) tapi bebas ini, yang
kini bertahan menjadi orang yang tak bisa disalahkan dan tak mengenali
jejak-jejaknya. Semua intervensi langsung dan sadar dalam bentuk apapun, apalagi
bila itu berasal dari negara, belum apa-apa sudah didiskreditkan, dihujat agar segera
menyingkir, demi keuntungan sebuah mekanisme murni dan tak bernama¾pasar, yang hakikat nya (sebagai tempat di
mana kepentingan diuji) dilupakan. Tapi, dalam kenyataan, apa yang menjaga
tatanan sosial dari kehancuran (agar tak kacau balau), walau jumlah populasi
yang harus dilindungi terus bertambah, adalah kesinambungan atau bertahannya
lembaga dan perwakilan tatanan lama yang masih dalam proses kehancuran, serta bekerjanya
semua kategori pekerja sosial, sebagaimana juga masih adanya semua bentuk
solidaritas sosial, kekeluargaan atau yang lainnya.
Transisi menuju “liberalisme” terjadi dengan cara
yang tak kentara, layaknya pemisahan benua, sehingga menyembunyikan dampaknya
dari pandangan. Konsekuensi yang paling mengerikan adalah dampak yang berjangka
panjang. Dampak-dampak nya sendiri bisa disembunyikan (secara paradoksal) karena
ada perlawanan (terhadap apa yang dihasilkan oleh transisi tersebut), yang
bangkit di kalangan mereka yang mempertahankan tatanan lama dengan mendekatkan sumber
daya yang dimiliki nya pada solidaritas lama, pada cadangan kapital sosial,
yang akan melindungi seluruh bagian dari tatanan sosial sekarang ini dari
kejatuhan, dari penyimpangan. Nasib kapital sosial tersebut akan melenyap¾walau bukan dalam waktu mendekat¾bila tak diperbarui dan direproduksi.
Tapi kekuatan yang hendak “mengawetkan” tatanan lama
ini¾yang terlalu mudah dianggap sebagai
konservatif¾juga merupakan, dari sudut
pandang lain, kekuatan perlawanan terhadap pembangunan tatanan baru, dan
bisa menjadi kekuatan subversif. Jika memang masih ada alasan untuk memiliki
beberapa harapan, itu karena masih ada kekuatan, baik dalam institusi negara
maupun dalam orientasi aktor-aktor sosialnya (khususnya individu dan
kelompok-kelompok yang paling melekat dengan pranata-pranata tersebut) yang
memiliki tradisi pelayanan sipil dan publik. Kekuatan tersebut¾di bawah penampakan (sederhana saja) sebagai
kekuatan yang bertujuan mempertahankan tatanan yang telah menghilang, tentu
saja juga untuk mempertahankan “privilese” yang menyertainya (itu lah alasan
tuduhan yang dengan segera akan ditimpakan kepada mereka)¾akan mampu menghadapi tantangan tersebut
hanya bila bisa menemukan dan membangun tatanan sosial yang baru. Yakni tatanan
sosial yang tak akan memiliki satu-satunya hukum¾yang mengejar kepentingan
egoistis dan hasrat individual akan keuntungan¾dan yang akan memberikan ruang
bagi orientasi kolektif¾yang secara rasional mengejar
tujuan yang hendak dicapai bersama dan disepakati bersama.
Bagaimana bisa kita tak memberi tempat khusus bagi
kolektif-kolektif, asosiasi-asosiasi, serikat-serikat buruh, dan partai-partai tersebut
di dalam negara: negara-bangsa¾atau lebih baik disebut negara-supranasional
(seperti negara Eropa yang sedang mengadakan perjalanan menuju negara dunia)¾yang mampu secara efektif mengendalikan dan
membebani pajak atas keuntungan yang didapatkan dari pasar finansial dan, lebih
dari itu, melawan dampak yang merusak (di masa yang akan datang) terhadap pasar
tenaga kerja. Upaya ini bisa dilakukan dengan bantuan dari serikat-serikat
buruh, yakni dengan mengorganisir pekerjaan dan pembelaan atas kepentingan
publik. Suka atau tidak, kepentingan publik tak akan muncul¾sendainya pun resiko kesalahan matematisnya
sedikit¾dari pandangan para akuntan
(di periode-periode awal orang akan menyebutnya “pelayan toko”) karena sistem kepercayan
baru merupakan bentuk tertinggi prestasi manusia.
[1] Free Trade and Globalization, September 03, 2001
[2] Elizabeth Martinez dan
arnoldo Garcia, What is “Neoliberalism”?, National Network for
Immigrant and Refugees Rights, 1 Januari, 1997.
[3] Lihat World’s
Wasted Wealth II, Bagian 2, dan Economic Democracy, keduanya
ditulis oleh J.W Smith, Institute for Economic Democracy.
[4] Susan George, A
Short History of Neoliberalism: Twenty Years of Elite Economics and
Emerging Oppurnuties for Structural
Chage, Conference On Economic Sovereignity in a Globalising World, Bangkok,
24-26 Maret, 1999.
[5] J.W Smith, The
World’s Wasted Wealth 2,( Institue fo Economic Democracy,
1994), halaman 120.
[6] Woodrow Wilson, Presiden Amerika Serikat, 1919,
sebagimana dikutip oleh Noam Chomsky, On Power and Ideology, South End
Press, 1990, halaman 14.
[7] Richard H Robbins, Global Problems and the Culture of
Capitalism , Allyn and Bacon, halaman 93-94.
[8] Profesor Samuel Hutington,
Universitas Havard, dikutip oleh Noam
Chaomsky dalam Latin America: From Colonization to Globalization, Ocean
Press, 1999, halaman 18.
[9] J W Smith, Economic Democracy: The Political
Strunggle for 21st Century,
M E Sharpe, 2000, halaman 12.
[10] Susan George, A Short
History of Neoliberalism: Twenty Years of Elite Economics and Emerging
Oppurtunities for Structural Change, Conference on Economic Sovereignty in a Globalising World, Bangkok, 22 Maret, 1999.
[11] Anthoni Lake, National
Security Adviser, 1990, dikutip dari Noam
Chomsky, World Orders Old and New, Columbia Press, 1996, halaman
71.
[12] J.W. Smith, The World
Wasted Wealth 2, Institute for Economic Democracy, 1994,
halaman 22.
[13] Utopia of endless exploitation,
The essence of neoliberalism, Le
Monde Diplomatique, Desember, 1998; diterjemahkan dari bahasa Prancis oleh
Jeremy J. Shapiro.
[14] Profesor di College de France.
[15] Auguste Walras (1800-1866), ekonom Perancis, penulis De
la nature de la richesse et de l’origine de la valeur (Tentang Sifat
Kekayaan dan Asal-usul Nilai) (1848). Ia adalah salah seorang yang pertama
mencoba menggunakan matematika dalam penelitian ekonomi.
[16] Erving Goffman. 1961. Asylum: Essays on the Social
Situation of Mental Patients and Other Inmates. New York: Aldine de
Gruyter.
[17] Lihat dua jurnal yang isinya difokuskan pada
“Nouvelles formes de domination dans le travail” (“Bentuk-bentuk baru dominasi
dalam kerja”), Actes de la recherche en sciences sociales, No. 114,
September, 1996, dan No. 115, Desembe,r 1996, khususnya pengantar oleh
Gabrielle Balazs dan Michel Pialoux, “Crise du travail et crise du politique”
[Krisis kerja dan krisis politik], No. 114:
halaman 3-4.
0 komentar